Sidney: Well, Ethel, here we are in
Shakespeare's front room. This
must be where he wrote all his
famous tragedies.
Ethel: I'm not surprised, with furniture like
this.
Sidney: What do you mean?
Ethel: Well, look at that armchair. He can't
have been comfortable, sitting
there.
Sidney: Don't be silly! He probably sat at
this table when he was writing
tragedies.
Ethel: Oh. yes...Look!
(She shows Sidney a typewriter.)
Ethel: This must be Shakespeare's typewriter.
Sidney: Shakespeare's typewriter?
Ethel: Yes. He must have written all his
plays on this.
Sidney: Ethel! That can't be Shakespeare's
typewriter.
Ethel: Why not?
Sidney: Because Shakespeare didn't use a
typewriter.
Ethel: Didn't he?
Sidney: No, of course he didn't. He was a
very busy man. He didn't have time
to sit in front of a typewriter all day.
He probably used a tape-recorder.
Ethel: A tape-recorder?
Sidney: Yes. I can see him now. He must
have sat on this chair, holding his
microphone in his hand saying: 'To
be, or not to be.'
Ethel: What does that mean?
Sidney: Ah well, that is the question.
Ethel: Sidney, look!
Sidney: What?
Ethel: Over here. This must be
Shakespeare's television.
Sidney: Shakespeare's television?
Ethel: Yes. It must be. It looks quite old.
Sidney: Shakespeare didn't have a television.
Ethel: Why not?
SKETCHES 129
Sidney: Why not? Because he went to the
theatre every night. He didn't have
time to sit at home, watching television.
Ethel: Oh.
(They hear someone snoring.)
Ethel: Sidney, what's that? I can hear
something. Oh, look!
Sidney: Where?
Ethel: Over there. There's a man over
there, behind the newspaper, I think
he's asleep.
Sidney: Oh, yes. He must be one of
Shakespeare's family. He's probably
Shakespeare's grandson.
Ethel: Ooh!
Sidney: I'll just go and say 'Hello'.
(He goes over to the man and
shouts.)
Sidney: Hello!
Man: What? Eh? What's going on?
Sidney: Good morning.
Man: Good mor- Who are you?
Ethel: We're tourists.
Man: Tourists?
Sidney: Yes.
Ethel: It must be very interesting, living
here.
Man: Interesting? Living here? What are
you talking about?
Sidney: Well, it must be interesting, living in
a famous house like this.
Man: Famous house?
Ethel: Yes, there must be hundreds of people
who want to visit Shakespeare's
house.
Man: Shakespeare's house? Look, there
must be some mistake.
Sidney: This is Shakespeare's house, isn't it?
Man: This is Number 34, Railway
Avenue...and I live here!
Ethel: Yes. You must be Shakespeare's
grandson.
Man: Shakespeare's grandson?
Ethel: Yes.
Sidney: Ethel! Look at this!
Ethel: What is it?
Sidney: Look at it!
(He is holding an ashtray.)
Ethel: Ooh, Shakespeare's ashtray!
Sidney: Yes, William Shakespeare's ashtray!
Mr. Shakespeare, I would like to buy
this ashtray as a souvenir of our visit
to your grandfather's house.
Man: For the last time, my name is not -
Sidney: I'll give you ten pounds for it.
Man: Now listen...Ten pounds?
Sidney: All right then - twenty pounds.
Man: Twenty pounds for that ashtray?
Ethel: Well, it was William Shakespeare's
ashtray, wasn't it?
Man: William Shakespeare's...Oh, yes, of
course. William Shakespeare's ashtray.
(Sidney gives the man twenty
pounds.)
Sidney: Here you are. You're sure twenty
pounds is enough...
Man: Well...
Sidney: All right then. Twenty-five pounds.
(He gives the man another five
pounds.)
Man: Thank you. And here's the ashtray.
(The man gives Sidney the ashtray.)
Sidney: Thank you very much.
Ethel: I hope we haven't disturbed you too
much.
Man: Oh, not at all. I always enjoy meeting
people who know such a lot
about Shakespeare. Goodbye.
Ethel: Goodbye.
(Ethel and Sidney leave.)
From Sketches Tape Script
Wednesday, May 2, 2012
Wednesday, April 11, 2012
Hugh Lloyd Roydon Elliott: Orisinalitas al-Quran Mantapkan Imanku
Hi guys,
Here's an article that was published on me in the Rupublika newspaper in Indonesia on Sunday the 8th of April 2012.
Sorry that I haven't arranged a translation yet but for those of you who speak Indonesian here it is:
REPUBLIKA.CO.ID, “Semua berawal saat aku berusia 17 tahun,” pria asal Australia itu mengawali ceritanya. Ditemui di sebuah rumah makan franchise di kawasan Pondok Cabe Tangerang, Hugh Lloyd Roydon Elliott tampak begitu bersemangat membagi pengalamannya.
Hugh tak perlu waktu bertahun-tahun untuk mengenal Islam. Ia menerima Islam dalam kurun waktu yang terbilang singkat; dua pekan! “Aku sangat beruntung karena Allah teramat menyayangiku. Ia memudahkan segalanya bagiku,” ujarnya kepada reporter Republika, Devi A Oktavika, beberapa waktu lalu.
Hugh lahir di Adelaide dan dibesarkan di Victoria, di tengah lingkungan Kristen tentunya. Beruntung, kedua orang tuanya yang beragama Protestan tak pernah memaksanya memeluk agama tertentu. “Terutama ibuku, ia percaya agama apa pun yang kupilih adalah yang terbaik bagiku. Aku sangat beruntung memiliki ibu sepertinya,” kata pria kelahiran 30 September itu.
Sementara itu, ayah Hugh adalah pemilik perusahaan besar dengan sejumlah kantor perwakilan di luar Australia, termasuk di Indonesia. Karena itu, Hugh telah mengenal Indonesia sejak lama.
Saat ia berusia 13 tahun, sang ayah membawanya untuk tinggal bersamanya di Indonesia selama enam bulan. Sementara ayahnya mengurus perusahaan, Hugh sibuk dengan home schooling dan pertemanan barunya dengan sejumlah anak Indonesia. Indah, seorang perempuan Muslim yang kini menjadi istrinya, adalah satu diantaranya.
Pada usia itu, Hugh tak meyakini agama apa pun, termasuk agama kedua orang tuanya. Ketidakyakinan itu telah muncul sejak bungsu dari empat bersaudara ini duduk di bangku sekolah dasar. “Pada masa itu, aku merasa berhadapan dengan hal-hal yang tidak masuk akal setiap kali membaca Bibel. Terakhir, Kitab itu kuberikan pada salah seorang teman.”
Bagi Hugh kala itu, Bibel tidak memuat kesepakatan antara ayat yang satu dengan lainnya. “Itu membuatku berpikir bahwa ia adalah kitab yang dibuat atau direvisi oleh manusia. Semakin aku membacanya, semakin aku menemukan kebingungan-kebingungan baru,” katanya.
Saat berusia 17 tahun, dalam sebuah liburan, Hugh kembali berkesempatan mengunjungi Indonesia selama sebulan. Dalam kesempatan itu, ia mengunjungi Indah dan keluarganya. Bersama mereka, Hugh berlibur di Majalengka, kota asal Indah dan keluarganya.
Dalam sebuah kesempatan, ayah Indah mendapati Hugh sedang mengamati putrinya shalat. Ia lalu menawarkan diri untuk menjelaskan beberapa hal tentang Islam, yang diterima Hugh dengan senang hati.
“Ia menjelaskan tentang shalat, wudhu, juga satu hal yang membuatku sangat shock, khitan,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Saat itu, Hugh yang tak mengenal apa pun tentang Islam kecuali azan, menemui kakak laki-laki Indah yang bertanya padanya tentang Bibel. Hugh menjawabnya dengan mengatakan bahwa kitab tersebut tidak orisinil.
Hugh lalu disodori Alquran. Setelah mendapat penjelasan bahwa Alquran adalah kitab orisinil yang diturunkan Allah kata demi kata kepada Nabi Muhammad SAW 1.400 tahun yang lalu, Hugh berjanji pada dirinya untuk mencari tahu isi kitab tersebut di Australia.
Hugh pergi ke sebuah toko buku dan membeli sebuah Alquran terjemah sekembalinya dari Indonesia. Sampai rumah, ia membuka halaman pertama dan membacanya. “Tak ada yang istimewa. Kata-kata ini sangat mudah dibuat oleh manusia,” gumamnya kala itu.
Hugh lalu tersadar dan memutuskan bahwa mengkritisi Alquran bukanlah cara terbaik memahami kitab tersebut. “Lalu aku mengatakan pada diriku sendiri, ‘Aku harus membuka pikiranku untuk ini’,” ujarnya. Hugh mulai membacanya di rumah, kereta, dan bus. Kemana pun ia pergi, Hugh membawa serta buku barunya itu.
Hugh sampai pada pertengahan kitab tersebut dua minggu kemudian. Ia takjub karena tak menemukan sedikit pun kontradiksi di dalamnya. “Tidak ada pertentangan, dan tidak ada kebingungan saat membacanya. Semuanya sangat jelas dan sederhana,” katanya. Ia tertarik pada ayat-ayat yang diawali kata-kata “wahai orang-orang yang beriman”, dan melihatnya sebagai perintah untuk berkontemplasi.
Satu waktu, Hugh menemukan sebuah ayat dalam surah An-Nisa yang dinilainya kontradiktif. Ayat itu memerintahkan seorang suami memukul istrinya saat sang istri melakukan kesalahan. Hugh tak terima. Ia menelusuri internet untuk menemukan tafsir dari ayat tersebut.
“Dari penjelasan beberapa mufassir, barulah aku tahu bahwa pukulan itu dimaksudkan sebagai teguran. Itu pun hanya untuk dilakukan menggunakan benda-benda kecil seperti saputangan. Subhanallah,” tuturnya.
Kesempurnaan Alquran memantapkan hati Hugh. Tanpa merasa perlu menghabiskan isi Alquran, ia meyakini kebenaran Islam dalam separuh bagian yang telah dibacanya. Ia segera mencari tahu tentang syahadat dari internet dan beberapa teman Muslimnya di Indonesia.
Hanya saja, Hugh tak mengenal seorang Muslim pun di Australia. Hingga akhirnya, ia menghampiri seorang perempuan berkerudung di sekolahnya. Berbekal informasi dari perempuan tersebut, Hugh mendatangi seorang syekh untuk berkonsultasi tentang syahadat.
Sayangnya, berkaitan dengan hukum yang berlaku di Australia, mereka menyarankan Hugh bersyahadat setelah genap berusia 18 tahun. Hugh menolak. “Bagaimana jika aku tertabrak bus besok pagi dan kemudian meninggal sebelum sempat bersyahadat?” katanya.
Melihat Hugh berkeras masuk Islam, sang syekh menyarankannya untuk hadir dalam sebuah kajian dan ceramah rutin di sebuah masjid kota di Melbourne. Syekh itu mengatakan, Hugh bisa bersyahadat pada imam di masjid tersebut setelah ceramah selesai.
Hugh mengikuti saran itu. Ditemani sang syekh, Hugh menghampiri imam masjid tersebut setelah acara kajian selesai. Ia menanyai Hugh beberapa hal terkait kesiapan dan kesungguhannya memeluk Islam. Setelah meyakinkan sang imam tentang kesungguhannya, Hugh bersyahadat.
Ia kemudian diminta tidak terburu-buru mengamalkan Islam secara penuh. “Imam itu memintaku belajar terlebih dahulu, termasuk untuk shalat.” Lagi-lagi, Hugh merasa tak perlu menundanya. “Bagaimana pun juga aku harus shalat, karena aku adalah seorang Muslim.”
Sampai di rumah, dengan berpedoman sebuah buku panduan kecil, Hugh shalat. Ia memegang buku itu di salah satu tangannya dan terus membawanya sepanjang shalat. “Aku shalat sambil membaca, termasuk saat sujud sekalipun, karena aku belum menghafal bacaan-bacaannya,” tuturnya.
Saat itulah perasaan yang disebut Hugh ‘ajaib’ menyergapnya. “Aku merasa berdiri langsung di hadapan Tuhan. Dinding-dinding kamar dan semua benda di sekelilingku seolah hilang. Hanya aku dan Allah,” ujarnya dengan nada takjub.
Tahun 2007, usai menamatkan kuliahnya di Teach International di Melbourne, Hugh kembali ke Indonesia. Ia menjadi guru bahasa Inggris dan menikahi Indah empat tahun kemudian. Kini Hugh sibuk menjadi pengajar sekaligus konsultan pendidikan bahasa Inggris di sebuah sekolah Islam internasional di Jakarta.
“Seperti telah kukatakan, Allah memudahkan segalanya bagiku. Kini, selain diberi kesempatan untuk mengamalkan ilmuku bagi Muslim, aku memiliki lingkungan yang luar biasa untuk memperluas pemahamanku tentang Islam. Alhamdulillah,” ujar pria yang mengaku memiliki nickname islami Abdullah Al-Faruq ini.
Maybe I will do a write up of my full story somedayin English and post it up here.If you'd like to see that just let me know ^-^.
Okay guys peace out and until next time - let's change some lives! ^-^
-Hugh
Here's an article that was published on me in the Rupublika newspaper in Indonesia on Sunday the 8th of April 2012.
Sorry that I haven't arranged a translation yet but for those of you who speak Indonesian here it is:
REPUBLIKA.CO.ID, “Semua berawal saat aku berusia 17 tahun,” pria asal Australia itu mengawali ceritanya. Ditemui di sebuah rumah makan franchise di kawasan Pondok Cabe Tangerang, Hugh Lloyd Roydon Elliott tampak begitu bersemangat membagi pengalamannya.
Hugh tak perlu waktu bertahun-tahun untuk mengenal Islam. Ia menerima Islam dalam kurun waktu yang terbilang singkat; dua pekan! “Aku sangat beruntung karena Allah teramat menyayangiku. Ia memudahkan segalanya bagiku,” ujarnya kepada reporter Republika, Devi A Oktavika, beberapa waktu lalu.
Hugh lahir di Adelaide dan dibesarkan di Victoria, di tengah lingkungan Kristen tentunya. Beruntung, kedua orang tuanya yang beragama Protestan tak pernah memaksanya memeluk agama tertentu. “Terutama ibuku, ia percaya agama apa pun yang kupilih adalah yang terbaik bagiku. Aku sangat beruntung memiliki ibu sepertinya,” kata pria kelahiran 30 September itu.
Sementara itu, ayah Hugh adalah pemilik perusahaan besar dengan sejumlah kantor perwakilan di luar Australia, termasuk di Indonesia. Karena itu, Hugh telah mengenal Indonesia sejak lama.
Saat ia berusia 13 tahun, sang ayah membawanya untuk tinggal bersamanya di Indonesia selama enam bulan. Sementara ayahnya mengurus perusahaan, Hugh sibuk dengan home schooling dan pertemanan barunya dengan sejumlah anak Indonesia. Indah, seorang perempuan Muslim yang kini menjadi istrinya, adalah satu diantaranya.
Pada usia itu, Hugh tak meyakini agama apa pun, termasuk agama kedua orang tuanya. Ketidakyakinan itu telah muncul sejak bungsu dari empat bersaudara ini duduk di bangku sekolah dasar. “Pada masa itu, aku merasa berhadapan dengan hal-hal yang tidak masuk akal setiap kali membaca Bibel. Terakhir, Kitab itu kuberikan pada salah seorang teman.”
Bagi Hugh kala itu, Bibel tidak memuat kesepakatan antara ayat yang satu dengan lainnya. “Itu membuatku berpikir bahwa ia adalah kitab yang dibuat atau direvisi oleh manusia. Semakin aku membacanya, semakin aku menemukan kebingungan-kebingungan baru,” katanya.
Saat berusia 17 tahun, dalam sebuah liburan, Hugh kembali berkesempatan mengunjungi Indonesia selama sebulan. Dalam kesempatan itu, ia mengunjungi Indah dan keluarganya. Bersama mereka, Hugh berlibur di Majalengka, kota asal Indah dan keluarganya.
Dalam sebuah kesempatan, ayah Indah mendapati Hugh sedang mengamati putrinya shalat. Ia lalu menawarkan diri untuk menjelaskan beberapa hal tentang Islam, yang diterima Hugh dengan senang hati.
“Ia menjelaskan tentang shalat, wudhu, juga satu hal yang membuatku sangat shock, khitan,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Saat itu, Hugh yang tak mengenal apa pun tentang Islam kecuali azan, menemui kakak laki-laki Indah yang bertanya padanya tentang Bibel. Hugh menjawabnya dengan mengatakan bahwa kitab tersebut tidak orisinil.
Hugh lalu disodori Alquran. Setelah mendapat penjelasan bahwa Alquran adalah kitab orisinil yang diturunkan Allah kata demi kata kepada Nabi Muhammad SAW 1.400 tahun yang lalu, Hugh berjanji pada dirinya untuk mencari tahu isi kitab tersebut di Australia.
Hugh pergi ke sebuah toko buku dan membeli sebuah Alquran terjemah sekembalinya dari Indonesia. Sampai rumah, ia membuka halaman pertama dan membacanya. “Tak ada yang istimewa. Kata-kata ini sangat mudah dibuat oleh manusia,” gumamnya kala itu.
Hugh lalu tersadar dan memutuskan bahwa mengkritisi Alquran bukanlah cara terbaik memahami kitab tersebut. “Lalu aku mengatakan pada diriku sendiri, ‘Aku harus membuka pikiranku untuk ini’,” ujarnya. Hugh mulai membacanya di rumah, kereta, dan bus. Kemana pun ia pergi, Hugh membawa serta buku barunya itu.
Hugh sampai pada pertengahan kitab tersebut dua minggu kemudian. Ia takjub karena tak menemukan sedikit pun kontradiksi di dalamnya. “Tidak ada pertentangan, dan tidak ada kebingungan saat membacanya. Semuanya sangat jelas dan sederhana,” katanya. Ia tertarik pada ayat-ayat yang diawali kata-kata “wahai orang-orang yang beriman”, dan melihatnya sebagai perintah untuk berkontemplasi.
Satu waktu, Hugh menemukan sebuah ayat dalam surah An-Nisa yang dinilainya kontradiktif. Ayat itu memerintahkan seorang suami memukul istrinya saat sang istri melakukan kesalahan. Hugh tak terima. Ia menelusuri internet untuk menemukan tafsir dari ayat tersebut.
“Dari penjelasan beberapa mufassir, barulah aku tahu bahwa pukulan itu dimaksudkan sebagai teguran. Itu pun hanya untuk dilakukan menggunakan benda-benda kecil seperti saputangan. Subhanallah,” tuturnya.
Kesempurnaan Alquran memantapkan hati Hugh. Tanpa merasa perlu menghabiskan isi Alquran, ia meyakini kebenaran Islam dalam separuh bagian yang telah dibacanya. Ia segera mencari tahu tentang syahadat dari internet dan beberapa teman Muslimnya di Indonesia.
Hanya saja, Hugh tak mengenal seorang Muslim pun di Australia. Hingga akhirnya, ia menghampiri seorang perempuan berkerudung di sekolahnya. Berbekal informasi dari perempuan tersebut, Hugh mendatangi seorang syekh untuk berkonsultasi tentang syahadat.
Sayangnya, berkaitan dengan hukum yang berlaku di Australia, mereka menyarankan Hugh bersyahadat setelah genap berusia 18 tahun. Hugh menolak. “Bagaimana jika aku tertabrak bus besok pagi dan kemudian meninggal sebelum sempat bersyahadat?” katanya.
Melihat Hugh berkeras masuk Islam, sang syekh menyarankannya untuk hadir dalam sebuah kajian dan ceramah rutin di sebuah masjid kota di Melbourne. Syekh itu mengatakan, Hugh bisa bersyahadat pada imam di masjid tersebut setelah ceramah selesai.
Hugh mengikuti saran itu. Ditemani sang syekh, Hugh menghampiri imam masjid tersebut setelah acara kajian selesai. Ia menanyai Hugh beberapa hal terkait kesiapan dan kesungguhannya memeluk Islam. Setelah meyakinkan sang imam tentang kesungguhannya, Hugh bersyahadat.
Ia kemudian diminta tidak terburu-buru mengamalkan Islam secara penuh. “Imam itu memintaku belajar terlebih dahulu, termasuk untuk shalat.” Lagi-lagi, Hugh merasa tak perlu menundanya. “Bagaimana pun juga aku harus shalat, karena aku adalah seorang Muslim.”
Sampai di rumah, dengan berpedoman sebuah buku panduan kecil, Hugh shalat. Ia memegang buku itu di salah satu tangannya dan terus membawanya sepanjang shalat. “Aku shalat sambil membaca, termasuk saat sujud sekalipun, karena aku belum menghafal bacaan-bacaannya,” tuturnya.
Saat itulah perasaan yang disebut Hugh ‘ajaib’ menyergapnya. “Aku merasa berdiri langsung di hadapan Tuhan. Dinding-dinding kamar dan semua benda di sekelilingku seolah hilang. Hanya aku dan Allah,” ujarnya dengan nada takjub.
Tahun 2007, usai menamatkan kuliahnya di Teach International di Melbourne, Hugh kembali ke Indonesia. Ia menjadi guru bahasa Inggris dan menikahi Indah empat tahun kemudian. Kini Hugh sibuk menjadi pengajar sekaligus konsultan pendidikan bahasa Inggris di sebuah sekolah Islam internasional di Jakarta.
“Seperti telah kukatakan, Allah memudahkan segalanya bagiku. Kini, selain diberi kesempatan untuk mengamalkan ilmuku bagi Muslim, aku memiliki lingkungan yang luar biasa untuk memperluas pemahamanku tentang Islam. Alhamdulillah,” ujar pria yang mengaku memiliki nickname islami Abdullah Al-Faruq ini.
Maybe I will do a write up of my full story somedayin English and post it up here.If you'd like to see that just let me know ^-^.
Okay guys peace out and until next time - let's change some lives! ^-^
-Hugh
Subscribe to:
Posts (Atom)